APAKAH BENAR BID’AH ITU SESAT ?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala Puji hanya milik Allah swt Rabb semesta alam. Yang dengan Sifat Rahman-Nya semua makhluk dimuka bumi merasakan nikmat kehidupan yang tak mungkin bisa kita hitung dari awal hingga akhir kita hidup. Salawat beriring salam semoga selalu tercurahkan dan limpahkan kepada junjungan kita semua,kekasih Allah,makhluk termulia dari sifat dan pribadinya,baik dzahir maupun batinnya,pemberi syafaat kelak diakhirat dengan Izin-Nya,Al-Musthofa SayyidinaWanabiyina Wamaulana Muhammad Saw. tak lupa untuk keluarga,sahabat,dan kita umatnya hingga akhir jaman. Semoga kita selalu ada dalam umat yang beliau saw rindukan. Aamiin Allahumma aamiin.
Dewasa ini,banyak sekali kita dapati sebagian golongan yang menebarkan rasa “permusuhan”. Hanya karena berbeda pandangan tentang suatu amalan-amalan sunah,mereka berani menghakimi bahkan mencap Ahli Bid’ah hingga menganggap kafir. Naudzubillah.
Melalui halaman ini,sedikit ingin saya sampaikan tentang tata cara pengambilan suatu hukum dalam Islam untuk mengtahui hukum suatu amalan atau ibadah yang dilakukan di masayarakat. Tulisan ini saya ambil dariSumber: Fanpage Nashrul Mukmin yang beliau tulis pada 23 Januari 2016 pukul 22.16 WIB.
Semoga memalui penjelasan beliau Allah berikan kita taufik dan hidayah agar kita tidak mudah menuduh sesama muslim dengan sebutan-sebutan yang tak pantas bahkan berani mencap kafir. Semoga mereka yang masih keras hatinya dalam beragama Allah lembutkan hingga mereka dapat memahami kebenaran dan kebaikan-kebaikan yang terkandung dalam agama ini.
Kita tentu sering atau pernah mendengar atau pernah membaca ungkapan-ungkapan berikut ini:
”Itu Bid’ah,karena Rasulullah Saw. tidak pernah mengerjakannya !” ”Itu salah,karena Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya !” ”Itu sesat,karena Rasulullah Saw. tidak pernah memperbuatnya !”
Ungkapan tersebut seakan menjadi dalil ijmali,yaitu dalil yang berlaku umum untuk segala hal. Ungkapan tersebut tidak diungkapkan sebagai dalil tafsili (dalil yang hanya berlaku secara spesifik untuk hal-hal tertentu saja). Ungkapan tersebut biasa diperkuat dengan dalil ”bahwa segala sesuatu yang tidak Rasulullah Saw. perbuat adalah bid’ah,dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap yang sesat masuk neraka.” Benarkah demikian ?
Untuk mengetahui benar dan salahnya dari ungkapan tersebut,mari kita periksa dan teliti lebih cermat lagi.
Pertama Kajian dari Aspek Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an Allah Swt. Berfirman :
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧
7. “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”
Ternyata ayat Al-Qur’an memerintahkan meninggalkan apa yang Rasulullah Saw. larang,bukan yang Rasulullah Saw. tidak perbuat.
Kedua Kajian dari Aspek As-Sunnah
Dari Mu’adz bin Jabal,bahwasanya Rasul Saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Muadz:
”Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa kehadapanmu ?” ”Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalan Kitabullah.”Kata Mu’adz.
Nabi Saw. bertanya lagi:”Kalau engkau tidak menemukannya dalam kitabullah,bagaimana ?”
Jawab Mu’adz :”Saya akan memutuskannya menurut Sunnah Rasul.“
Nabi Saw. menanya lagi:”Kalau engkau tak menemui itu dalam Sunnah Rasul,bagaimana ?”
Mu’adz menjawab:”Ketika itu saya akan ber-ijtihad,tanpa bimbang sedikitpun.”
Mendengar jawaban seperti itu Nabi Muhammaad Saw. meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata :
”Semua puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasu-Nya.”
(HR. Imam Tirmidzi dan Abu Daud - sahih Tirmidzi juz II,hal.68-69 dan Sunnah Abu Daud juz III – halaman 303).
Dari Hadist tersebut dapat kita pahami bahwa,dalam menentukan suatu hukum ada beberapa tahapan yang harus ditempuh:
2. As-Sunnah,yaitu dari segi fi’liyyah,qouliyyah dan taqririyyah Rasulullah Saw.
3. Ijtihad,yaitu sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadist secara Qoth’i dengan syarat menggunakan akal sehat dan juga pertimbangan matang yang dilandasi dengan ilmu yang mumpuni.
Imam As-Syafi’i Rahimahullah yang mendapat gelar kehormatan sebagai Bapak Ushul Fiqh dan sebagai Nashir ul-Hadist (Pembaca Hadist) pernah menegaskan :
”Seseorang tidak boleh memberi fatwa dalam agama Allah Swt kecuali dia mengetahui keseluruhan Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya seperti Nasikh dan Mansukh,ayat Muhkam dan Mutasyabih,Ta’wil dan Tanzil,ayat Makiyah dan Madaniyah. Dia juga perlu mengetahui tentang Hadist-hadist Nabi Saw.,serta ilmu-ilmunya (‘ulumul hadist) seperti Nasikh dan Mansukh,dan lain-lain. Setelah itu,dia juga perlu menguasai Bahasa Arab,Sya’ir-sya’ir Arab,dan Sastra-sastranya (karena Al-Qur’an dan Hadist dalam Bahasa Arab dan mangandung kesasteraannya). Setelah itu,dia juga perlu mengetahui perbedaan Bahasa Arab dikalangan setiap ahli masyarakat Arab. Jika dia sudah menguasai keseluruhan perkara-perkara tersebut,barulah dia layak memberi fatwa mengenai halal dan haram. Jika tidak,dia tidak layak untuk memberi fatwa.”
<”Al-Faqih wal Mutafaqqih” Al-Khatib Al-Baghdadi)
Dengan demikian,maka segala bentuk amaliah ibadah yang belum ditemukan adanya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah secara Qoth’i tidak lantas menjadi sesat,terlarang atau bid’ah,tapi harus diputuskan melalui ijtihad.
Ketiga Melalui Aspek Kenyataan Hidup
Akan kita temukan suatu kenyataan dalam kehidupan kita bahwa banyak hal amaliah yang kita lakukan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Saw. diantaranya :
# Kegiatan memperingati Nuzulul Qur’an,Maulid Nabi Saw.,Isra Mi’raj,Halal bi Halal ,dll.
# Shalat Tarowih secara berjamaah selama satu bulan penuh di masjid
# Adzan dua kali pada Shalat Jum’at
# Membaca Kitab Barzanji,Manaqib,dll.
# Zakat Profesi
# Dan Masih banyak lagi
Bila berpedoman bahwa setiap yang tidak dilakukan Rasulullah Saw. sebagai ijmali (berlaku umum pada berbagai hal). Maka beberapa amaliyah yang telah disebutkan di atas akan menjadi sesat,syirik,kufur,bid’ah dlolalah atau haram,dengan alasan karena tidak dilakukan oleh Rasulullah Saw.,maka bayangkan berapa banyak hal lain yang juga tidak dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Keempat Kajian dari Aspek Qaidah Ushul dan Qaidah Fiqh Kita akan temukan bahwa tidak melakukan sesuatu (at-tarku) tidaklah menunjukan haram (at-tarku la yadullu ‘alat tahrim),bahkan at-atarku tidaklah dipandang sebagai dalil (at-tarku laisa bidalilin). Yang akan kita temukan sebagai petunjuk atau dalil haram adalah larangan (an-nahyu yadullu ‘alat tahrim atau Al-aslu fin nahyi at-tahrim).
Dengan keempat sudut pandang tersebut,,tidak ada satupun yang mendukung bahwa “Rasulullah Saw. tidak melakukannya” sebagai dalil yang menunjukkan kalau hal tersebut sebagai haram,sesat,syirik,kufur atau bid’ah dlolalah”. Bahkan tidak ada yang mendukung bahwa sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Saw. sebagai sebuah dalil untuk menentukan larangan atau keharamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,
mengatakan sesuatu itu haram,sesat,syirik,kufur atau bid’ah dlolalah dengan dalil (alasan) bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah mengerjakannya adalah merupakan suatu tindakan yang tidak benar dan tidak memiliki landasan yang qoth’i dalam agama.
Wallohu a’lam bi showwab. Semoga Allah senantiasa menuntun kita dengan Taufik dan Hidayah-Nya dan menjaga kita dari perbuatan-perbuatan tercela yang dapat memecah belah persatuan umat.